Senin, 20 Agustus 2007

Hizbut Tahir Menilai Berhasil Kenalkan Konsep Khilafah

Jakarta (ANTARA News, 13/08/07 23:54) - Hizbut Tahir Indonesia (HTI) menilai telah berhasil memperkenalkan konsep khilafah melalui Konferensi Khilafah Internasional yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (12/8) dan dihadiri oleh sekitar 100.000 peserta."Umat menjadi tahu istilah khilafah, istilah yang untuk sebagian orang terasa asing," kata juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, saat diskusi mengenai khilafah di Jakarta, Senin malam.Diskusi yang dibuka oleh Menneg Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault tersebut juga menghadirkan pembicara dari Hizbut Tahir Sudan Utsman Ibrahim Abu Khalil, Guru Besar Sekolah Teologi Universitas Doshisha Jepang Prof Dr Hassan Ko Nakata dan dari Hizbut Tahir Inggris Mehmed Salim, serta dihadiri sekitar 50 organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan.Nakata mengatakan, salah satu konsep khilafah Hizbut Tahir yaitu pemerintahan berdasarkan pada hukum syariah Islam dan dijalankan melalui kepemimpinan yang dipilih seluruh umat Islam.Nakata juga mengatakan, khilafah adalah sistem pemerintahan keduniaan membumi yang menjamin perlindungan seluruh masyarakat berdasar hukum publik Islam dan memberikan kebebasan kepada komunitas berbasis agama di bidang keagamaan.Ismail mengatakan, lewat konferensi tersebut banyak orang tahu istilah khilafah termasuk polisi-polisi yang menjaga acara tersebut. Ia mengatakan, pemahaman terhadap arti khilafah tersebut penting untuk mengembangkan gagasan tersebut."Ini sebuah kemajuan karena banyak umat Islam tidak tahu," katanya. Ia mengatakan konferensi tersebut juga diliput oleh banyak media di Indonesia.Langkah selanjutnya yang dilakukan HTI adalah melakukan pembinaan sehingga ada kesadaran politik Islam yakni segala sesuatu tidak boleh tidak diatur oleh syariat Islam.Sementara itu Adhyaksa dalam sambutannya mengatakan, yang perlu diambil pelajaran dari khilafah adalah upaya mewujudkan persatuan umat Islam dan ukhuwah Islamiyah.Adhyaksa juga mengatakan semangat persatuan umat Islam itu dilakukan tanpa mengambil atau mengganggu hak agama lain. "Sehingga tidak perlu dikuatirkan," katanya.Sebelumnya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyerukan agar umat Islam mengambil esensi dari konsep kekhilafan yaitu persatuan dan kebersamaan serta menerapkannya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Ia mengatakan, khilafah adalah ajaran Islam yang jelas tercantum dalam Al Quran tetapi terdapat berbagai perbedaan pendapat antar ulama mengenai bagaimana cara terbaik untuk mengimplementasikannya.

Rabu, 15 Agustus 2007

Yakin Khilafah Bisa Ditegakkan

JAKARTA - Meski mendapat sejumlah tanggapan dingin dari beberapa cendekiawan muslim, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tetap yakin suatu saat khilafah islamiah bisa ditegakkan.Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan, keraguan sejumlah tokoh Islam terhadap konsep khilafah islamiah sangat bisa dimengerti. Sebab, kenyataan akan konsep khilafah telah terkubur sangat lama. "Kalau mereka lantas ragu dan sangat sulit membayangkan, hal tersebut cukup wajar," ujarnya.Ismail mengibaratkan keraguan itu seperti konsep Uni Eropa saat kali pertama digulirkan. Namun, seiring waktu, Uni Eropa bisa terwujud dan keberadaannya sangat diperhitungkan hingga saat ini. "Karena itu, bagi kami, konsep khilafah tidak sekadar wacana, tapi telah menjadi sebuah perjuangan," tegasnya. Menurut Ismail, dari hari ke hari, perjuangan menegakkan syariat Islam melalui sistem khilafah terus menunjukkan kemajuan positif. Salah satu buktinya adalah suksesnya penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional 2007 kemarin (13/8). Sebelumnya, lanjut Ismail, banyak pihak memperkirakan konferensi tersebut hanya dihadiri sekitar 10-1.000 orang. Kenyataannya, simpatisan yang hadir di Gelora Bung Karno sekitar 80 ribu orang.Kemarin sejumlah pembicara HT tetap melakukan road show. Syekh Issam Ameera dari HT Palestina dan Syekh Usman Abu Khalil dari HT Sudan berdiskusi dengan beberapa tokoh pemuda dan mahasiswa di Hotel Sahid, Jakarta. "Saya sangat yakin khilafah islamiah bisa terealisasi suatu saat nanti," tegas Ismail. Ismail belum bisa menyebut kepastian waktunya. Meski demikian, kata dia, laporan dari National Intellegence Council beberapa tahun lalu menyebutkan, pada 2020 khilafah islamiah akan berdiri.
(Sumber: Indopos Selasa, 14 Agt 2007)

Senin, 13 Agustus 2007

HT: Khilafah Lindungi Pluralitas

JAKARTA -- Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan kekhilafahan merupakan kenyataan sejarah yang melindungi pluralitas. Selama ini banyak pihak yang salah memahami konsep khilafah dengan menuduh kekhilafahan Islam antipluralitas.
''Kekhilafahan Islam di Spanyol membuktikan itu. Bahkan, sejarah telah menyebut Spanyol sebagai negeri tiga agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi,'' kata juru bicara Hizbut Tahrir (HT) Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, dalam Konferensi Kekhilafahan Internasional di Jakarta, Ahad (12/8).
HT mengakui pluralitas yang diindikasikan dari beragam kerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia. ''HT tak memiliki hambatan apa pun untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak, seperti partai Islam lainnya,'' ujar Ismail.
Dia juga menegaskan bahwa HT tak akan menempuh metode kekerasan untuk mencapai tujuannya, yakni tegaknya syariah dan kekhilafahan Islam. Acara Konferensi Kekhilafahan Internasional itu, tegas Ismail, tak dimaksudkan untuk mendeklarasikan berdirinya sebuah kekhilafahan atau partai politik baru. Acara itu lebih bersifat sebagai nasihat keagamaan dalam memberikan pendidikan kepada umat.
HT juga menolak keras munculnya gerakan separatisme di dunia Islam. ''Tegaknya kekhalifahan bermaksud untuk mengganti sistem pemerintahan yang buruk, dan akan mencegah separatisme, sehingga tak mungkin mengancam.''
Presiden Asosiasi Muslim Jepang, Hassan Ko Nakata, mengatakan, tak ada pemaksaan dalam sistem khilafah. Sistem pemerintahan Islam tegak dengan tetap memberikan otonomi untuk hidup mandiri bagi yang non-Islam.
Negeri Islam juga terbuka bagi siapa saja. ''Sistem khilafah tak murni keagamaan, tapi sangat membumi atau bersifat keduniaan. Inilah yang menjadi alasan kenapa sistem ini dapat diterima di semua kalangan, bahkan non-Muslim sekalipun,'' jelas Nakata yang juga Guru Besar Teologi Universitas Doshisha, Kyoto, itu.
Semua organisasi Islam di Indonesia, seperti HT, Muhammadiyah maupun NU, kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, tak keberatan dengan ide pluralitas karena ajaran Islam memang mengakuinya. Yang justru ditentang adalah ide relativitas agama yang menyatakan semua agama adalah sama.
Din juga meminta umat Islam memahami bahwa khilafah merupakan ajaran Islam. Meski, ada perbedaan pendapat dalam hal format dan cara membentuknya, bukan esensinya. ''Khilafah adalah ajaran yang baik dan mulia. Tapi saya lebih pahami secara esensial bahwa khilafah adalah ajaran persatuan umat Islam.''
( Sumber: Republika Online - Senin, 13 Agustus 2007)

Rabu, 08 Agustus 2007

JALAN PANJANG MENUJU KHILAFAH ISLAMIYAH

(Republika Online edisi: 31 May 2000)
Stadion Tenis Indoor Senayan Jakarta Ahad (28/5/2000) pagi, ratusan massa berkumpul dan duduk teratur. Yang pria duduk di sisi sebelah kiri. Sedangkan wanita, hampir semuanya berkerudung, duduk di sisi sebelah kanan.

Ceritanya, pagi hingga siang itu, berlangsung sebuah konferensi internasional. Dari empat pembicara yang duduk di depan, seorang berasal dari Australia (Ustadz Ismail Al Wahwah), seorang dari Malaysia (Ustadz Dr Sharifuddin M Zain), dan dua orang lagi dari Indonesia (Ustadz KH dr Muhammad Usman dan Ustadz KH M Al Khaththath).

Meskipun konferensi itu bertaraf internasional, tetapi tak terlihat bendera negara peserta terpampang di sana. Tak ada merah putih, tak ada bulan sabit dan bintang, juga tak ada warna biru berbintang. Yang ada cuma bendera hitam bertuliskan kalimat La illaha illallah yang dipampang di sana-sini.

Memang, tujuan konferensi itu bukan untuk menonjolkan negara dalam satu perbedaan. Seperti mengkotak-kotak sesuatu yang dahulu sudah dipersatukan dalam persamaan ideologi, menjadi terpisah-pisah dalam garis kebangsaaan. Malah sebaliknya, konferensi itu ingin menonjolkan satu kesamaan dan membuang jauh-jauh ide-ide nasionalisme.

Konferensi bertajuk Khilafah Islamiyah itu diselenggarakan oleh sebuah partai politik berideologi Islam yang menamakan dirinya Hizbut Tahrir. Tak aneh bila partai ini menggagas ide pembentukan khilafah Islamiyah. Karena menurut salah seorang anggota partai ini, Muhammad Al Khaththath, tujuan partai ini memang ke arah itu.

"Kami ingin melanjutkan kehidupan Islam dan memahami bahwasanya problematika utama yang menimpa kaum Muslimin saat ini disebabkan tidak diterapkannya hukum-hukum Islam di tengah masyarakat. Dan satu-satunya wadah yang mampu menjamin penerapan sistem dan hukum-hukum Islam secara total di tengah-tengah masyarakaat hanyalah khilafah al Islamiyah,'' ungkapnya.

Berbicara soal keinginan mendirikan satu kekhalifahan, Hizbut Tahrir yang juga banyak terdapat di beberapa negara Islam, bukan yang pertama dan satu-satunya yang bercita-cita mendirikan kekhalifahan Islam. Sejak lama keinginan seperti itu sudah muncul. Seperti yang pernah digagas oleh tokoh pembaharu Islam dari Mesir, Hasan Al Banna, dengan kelompoknya Ikhwanul Muslimin. Sayangnya, sebelum cita-cita ini kesampaian, Al Banna keburu meninggal dunia.

Terlepas dari siapa yang menggagasnya, semua orang Islam pasti mendambakan suatu pemerintahan global yang benar-benar berpegang teguh pada ketentuan Islam. Terlebih melihat kondisi umat Islam yang sekarang ini tercabik-cabik setelah runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir tahun 1924.

Siapa yang menduga, wilayah Islam yang dulu terbentang sangat luas meliputi seluruh jazirah Arab, Syam, Turki, Semenanjung Balkan, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika bagian utara, bahkan sampai ke Eropa bagian barat, bisa terpecah-pecah menjadi lebih dari 50 negara-negara kecil. Ironisnya, antara yang satu dengan yang lain, dalam batas-batas tertentu sudah tak ada kepedulian. Hubungan kebersamaan akidah diganti dengan hubungan bertetangga. Masing-masing mereka dibentengi oleh perasaan nasionalisme.

Kata nasionalisme inilah yang dituding oleh KH dr Muhammad Usman, salah satu pembicara dalam konferensi tersebut sebagai biang pecahnya umat Islam. ''Persoalan tanah Palestina yang hingga kini masih diduduki dan dikuasai oleh Yahudi merupakan bukti nyata akibat nasionalisme,'' ungkapnya.

Bercerita soal Palestina dan Yahudi, yang muncul memang kisah duka tentang sebuah bangsa yang disisihkan. Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun tanah Palestina dirampas dan penduduknya diusir bahkan dibantai oleh bangsa Zionis ini, namun hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian. Kaum Muslimin yang berjumlah 1,4 miliar seakan tak berdaya berhadapan dengan bangsa Yahudi yang jumlahnya cuma segelintir.

Malah, negara-negara Muslim atau negara yang penduduknya didominasi kaum Muslim saling berlomba-lomba memberikan keabsahan kepada Israel. Mereka membuka hubungan diplomatik. Bahkan tak merasa risih bekerjasama dengan negara yang telah membantai saudaranya sendiri itu.

Ini cuma satu contoh. Contoh lain, bagaimana bangsa Chechnya dan Dagestan harus berjuang sendiri dengan senjata seadanya menghadapi gempuran pesawat-pesawat tempur canggih tentara Rusia. Demikian pula di Bosnia dan Kosovo, di Moro, China, Vietnam, Kashmir, Ambon, dan sebagainya.

Lebih dari itu, sambung Usman, nasionalisme bukan hanya membuat kaum Muslimin bersikap individualistik. Tetapi juga rentan memunculkan konflik antara sesama umat Islam sendiri. Ini karena benturan kepentingan. Lihatlah perseteruan antara Suriah dengan Turki tentang daerah Liwaul Iskandariah, atau perang antara Irak dan Iran yang memperebutkan Pulau Abi Musa, Tambul Besar, dan Pulau Ton.

Persoalan lain, negara-negara berpenduduk Muslim umumnya tergantung pada negara-negara berpenduduk non-Muslim. Pemerintahan negara berpenduduk Muslim tak punya kedaulatan penuh. Untuk berbagai urusan penting, mereka menyerahkan keputusannya kepada sang 'majikan'. Lihatlah Indonesia. Sebagian besar kebijakan ekonomi dan juga politik, senantiasa membebek dengan kepentingan IMF.

Dalam hal akidah dan pemikiran, banyak kaum Muslimin di berbagai belahan dunia yang terpesona dengan ide-ide kufur. Belum lagi pembenaran kepada sesuatu yang menjurus ke arah kemaksiatan, seperti pergaulan bebas atau tontonan-tontonan vulgar. Demikian juga dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam masih sangat tertinggal. Semua itu menambah daftar panjang problematika yang dihadapi umat Islam saat ini.

Sehubungan dengan keinginan mendirikan Khilafah al Islamiyah, tentu banyak pertanyaan yang kemudian muncul. Seperti juga yang terlontar dalam konferensi tersebut. Misalnya, bila nanti berdiri kira-kira siapa yang paling tepat untuk dibaiat menjadi khalifah? Negara mana yang paling tepat sebagai pusat kekhalifahan? Bagaimana merangkul demikian banyak golongan dalam Islam?

Selalu kandas
Tak sedikit pula yang merasa pesimis dengan keinginan ini. Alasan mereka, sudah sedemikian sering keinginan seperti ini terlontar tetapi selalu saja kandas di tengah jalan. Selain itu, banyak negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam toh tetap saja tidak mampu membangun dirinya sendiri. Ada juga yang berpendapat kondisi riil umat Islam saat ini sudah demikian kompleks, sehingga akan banyak persinggungan kepentingan antara negara dan khilafah.

Setidaknya ada dua pendekatan untuk menjelaskan mengapa kekhalifahan tersebut perlu dibentuk. Pertama, hukum syara'. Kedua, harapan bahwa dengan khilafah ini segala problematika umat Islam bisa terpecahkan.

Menurut Ismail Al Wahwah, ulama Islam dari Australia, mendirikan khilafah itu wajib hukumnya. Ia mengambil dalil beberapa ayat Alquran yang menginginkan umat Islam sebagai satu kesatuan dalam negara yang satu, di bawah kepemimpinan imam yang satu, yang memerintah dengan peraturan yang satu yang berasal dari syariat Allah SWT.

Seperti yang terungkap dalam QS Al-Hujuraat: 10 yang menyatakan, umat Islam satu dengan yang lain sesungguhnya adalah saudara. Kemudian dalam QS Ali Imran: 103 disebut juga bahwa umat Islam seluruhnya harus berpegang pada agama Allah dan tidak boleh bercerai berai.

Selanjutnya segala perkara harus diputuskan menurut apa yang diturunkan Allah, seperti yang dituntun dalam QS Al-Maa'idah 44, 45, 47. Karena Islam adalah sebuah agama yang dari akidahnya terlahir peraturan kehidupan yang sempurna. Yang mengatur urusan-urusan individu - dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat - dan mengatur urusan pemerintahan dalam aspek pemerintahan, ekonomi, sosial, jihad, hubungan internasional, 'uqubat, dan lain-lain.

Pendekatan kedua tampaknya tak perlu diragukan. Setidaknya ada harapan bahwa problematika umat Islam sedunia akan bisa tertanggulangi dengan adanya kekhalifahan yang menjamin terlaksananya syariat Islam secara total.

Hanya saja prosesnya butuh waktu. Jelas tak mungkin terbentuk dalam waktu dekat. Tak cukup juga dengan berkoar-koar menyatakan kekhalifahan itu perlu, tapi tak mengetahui bagaimana tahap demi tahap mewujudkannya. Barangkali harus dimulai dari sebuah keluarga. Kumpulan-kumpulan keluarga Muslim yang sepaham ini akan melebar hingga memegang kendali sebuah negara. Barulah kumpulan dari negara ini akan sepaham untuk membentuk satu kekhalifahan.

Tak boleh pesimis memang. Meskipun kondisi riil saat ini sangat tidak menguntungkan. Lihat saja, meskipun pemeluk agama Islam sudah terbilang banyak, tetapi di antara mereka masih bersikukuh dengan berbagai pemikiran dan perasaan. Ada yang Islami, ada yang kapitalis, ada yang sosialistik, ada yang bertolak dari nasionalisme dan patriotisme, dan tak sedikit juga yang bertolak dari semangat kesukuan atau fanatisme madzhab.

Sementara negara-negara yang katanya Islam, malah semuanya masih memberlakukan perundang-undangan dan hukum kufur. Hanya sebagian saja hukum-hukum Islam yang diambil. Seperti hukum nikah, talak, rujuk, cara memberi nafkah, waris, perwalian, atau sengketa tentang anak. Selebihnya, entah hukum dari mana diambil.

Singkatnya, cita-cita mewujudkan sebuah khilafah Islamiyah itu perlu proses dan tahapan yang jelas agar tidak kandas di tengah jalan. ''Mendirikan sebuah khilafah itu tidak dengan cara mendadak. Segala sesuatunya harus matang,'' ujar dosen Pascasarjana IAIN Bandung, Dr Daud Rasyid MA.

Menurutnya, melihat kondisi umat Islam saat ini, belum ada indikasi umat sudah siap membentuk khilafah. ''Masih terlalu jauh untuk berpikir seperti itu. Pemahaman umat tentang Islam itu sendiri masih rendah. Semua ini perlu proses yang tahapan-tahapannya jelas dan harus dilalui satu persatu. Tidak bisa dengan meloncat-loncat.''

Kendati begitu ia membenarkan dengan adanya kekhilafahan, Islam akan menjadi kuat. Tetapi membentuk khilafah itu bukan hal gampang. Karena itu menurut Daud, yang perlu dilakukan saat ini adalah menumbuhkan kesadaran umat Islam tentang pentingnya khilafah. ''Ini barangkali bisa dimulai dari keluarga, lalu kelompok. Lalu ke level yang lebih tinggi lagi,'' paparnya. Jadi, perlu kesabaran umat untuk membangun khilafah
(http://www.geocities.com/injusticedpeople/ROL3105 JalanPanjangMenujuKhilafahIslamiyah.htm)

Rabu, 01 Agustus 2007

Sultan Pagaruyung Dukung Penegakan Syari'at Islam

Rabu, 01 Agustus 2007
Pewaris Kesultanan Pagaruyung, Minangkabau, mendesak para tokoh umat Islam meningkatkan pembinaan guna mempercepat penegakan syari'at

Hidayatullah.com--Sultan Muhammad Taufik Thaib, pewaris Kesultanan (Kerajaan) Pagaruyung, Minangkabau, mendesak para tokoh umat Islam meningkatkan pembinaan dan program nyata bagi mempercepat penegakan syari'at Islam di ranah Minang (provinsi Sumatera Barat).
Berbicara pada Mudzakarah Ulama, Adat dan Kesultanan yang diselenggarakan KPSI Sumbar Sabtu dan Ahad lalu, Sultan M. Taufik Thaib menyatakan, pengamalan syari'at Islam telah dilaksanakan Kesultanan Pagaruyung sejak dulu hingga hari ini.
Secara internal, kata pewaris Kesultanan Pagaruyung ini, sejak masuknya Islam ke Minangkabau, pihak kerjaan telah mereformasi struktur kerajaan antara lain dengan mengangkat Raja Ibadat dan Raja Adat serta Tuan Kadhi. Dan, secara eksternal, Kesultanan Pagaruyung terus menerus melaksanakan penyebaran agama Islam keberbagai wilayah di Nusantara hingga ke Malaysia dan Thailand.
Kesungguhan untuk menenggakan dan mengamalkan syari'at Islam, juga terus dilaksanakan Pewaris Kesultanan Pagaruyung hingga hari ini. Bahkan di awal era reformasi pada tahun 2001, ketika menobatkan pewaris Gajah Tongga Koto Piliang, pewaris Kerajaan Pagaruyung ini sudah mengeluarkan "Titah" (seruan) agar syari'at Islam ditegakan di wilayah Sumbar.
Sayangnya, seruan itu kurang mendapat sambutan. Menurut Sultan M. Taufik Thaib, disamping banyak yang belum benar-benar paham akan syari'at Islam , banyak pula yang phobia terhadap SI, bahkan masih ada sebagian ulama yang mempertanyakan, apa perlu penegakan SI di Minangkabau. Bagaimana dengan Mentawai?
Padahal seperti Piagam Jakarta, kata S.M Taufik Thaib, kewajiban melaksanakan Syari'at Islam hanya bagi pemeluknya. Tapi tetap saja ada yang phobi. Mereka takut jika Islam diamalkan, umat Islam akan kuat dan negeri ini akan menjadi kuat dan berkembang pesat.
Untuk ke depan, Pewaris Kesultanan Pagaruyung ini berharap agar para tokoh dan komponen umat Islam Sumatera Barat bersatu, meninggalkan friksi-friksi, kepentingan kelompok dan harakah dengan mengutamakan kebersamaan bagi penengakan syari'at Islam.
Tak perlu berburu jabatan, "Optimalkan saja dulu struktur dan komponen yang sudah ada. Sampai ke struktur Kaum Nagari sudah ada Penghulu Andiko, bahkan di keluarga juga sudah ada Mamak Tungganai dan seterusnya. Kita mulai saja dari potensi ini dulu. Bantu dan bina mereka untuk menegakan dan mengamalkan syari'at Islam secara bersungguh-sungguh," harapnya.
Untuk itu para ulama dan tokoh umat Islam di Sumbar harus memperlihatkan keteladan dalam pengamalan syari'at Islam dalam keluarganya dan di masyarakat.
Ketua KPSI H. Irfianda Abiddin yang juga moderator acara menyatakan, pihaknya siap mensosialisasikan hasil mudzakarah Ulama, Adat dan Kesultanan ini ke masyarakat di pelosok nagari. Untuk hitu diharapkan bantuan dan dukungan semua pihak. [dodi/www.hidayatullah.com]